Rabu, 08 Januari 2014

perempuan bugis


Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratanAsia tepatnya Yunan. Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
            Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain LUWU, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, sawito, Sidenreng, dan rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian Darah dengan Makassar dan mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kebupaten yaitu Luwu, Bone, Soppeng, sidrap, Pinrang, barru.
     Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah BulukumbaSinjaiMaros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).

1.      Makkunrai
“Makkunrai” adalah penyebutan orang Bugis terhadap Gender perempuan. Penyebutan “Makkunrai”berasal dari kata”Unre”, yakni sejenis busana rok bawahan yang jika ditambah awalan “ma” dan akhiran “i” sebagai kata kerja, berarti pemakai Rok. Maka bahasa bugis mencitrakan gender tersebut dari sejenis busana yang lazim dipakainya. Suku bugis menempatkan perempuan sebagai puncak martabat kemanusiaannya. Bukan sekedar symbol, melainkan merupakan esensi luhur yang menandai derajat dan martabat dalam suatu rumpun keluarga. Sebagai contoh : suatu keluarga dapat dinilai tingkat starata sosialnya ketika anak gadisnya dilamar dengan jumlah mahar (mas kawin) tertentu.
Azas”siri na pesse” dalam artian”harga diri dan solidaritas kemanusiaan” yang menjadi landasan Moraldan kehidupan bermasyarakat terhadap martabat perempuan. Seorang perempuan dalam sebuah keluarga atau bahkan kaum (Appang atau Rapu) bugis dipandang sebagai sesuatu yang sacral. Pelecehan terhadap seorang perempuan baik sebagai Istri, anak, saudara, bibi, kemenakan, maupun sepupu dalam suatu lingkup keluarga dari seorang lelaki dianggap sebagai pelanggaran “siri” (harkat, martabat, dan harga diri) bagi seluruh anggota keluarganya (tomasiri’na) maka seketika itu pula bangkit naluri “PesseE” bagi semuanya yang tak bias ditawar untuk membela serta menegakkan “siri” dengan mempertaruhkan segala apapun, utamanya dengan darah dan nyawa. “Naiyya siri’E, nyawa na ranreng” (sesungguhnya harga diri selalu berdampingan dengan hidup)
2.      Kedudukan perepuan dalam masyarakat bugis
Memandang perempuan sebagai symbol kehormatan suatu keluarga maupun kaum, adalah salah satu hal yang mendorong budaya “sompa” (persembahan mas kawin) yang teramat mahal sebagai suatu proses tradisi wajib pada suku Bugis sejak dulu sampai sekarang. Seorang laki-laki yang melamar untuk mendapatkan seorang perempuan dari suatu keluarga diwajibkan “massompa” yang dalam pengertian harfiahnya sebagai “penyembahan”. Bukan sebagai suatu transaksi”penjualan” sebagaimana sebagian kalangan yang menilainya dengan sini, namun lebih merupakan sebagai persaksian atas iktikad baik yang sungguh-sungguh dalam menghargai serta memuliakan perempuan yang dipersuntingnya.
Setelah memenuhi segala tata cara dalam proses pernikahan yang panjang, seorang mertua dari pihak laki-laki dianggap pula sebagai seorang beradab jika memberi “sangra” (hak penguasaan) pada menantu perempuannya. Penganugrahan “sangra” tersebut dapat berupa tanah perkebunan atau persawahan.
Masyarakat Bugis menganut falsafah burane mallempa, makkunrai majjujung, yang berarti pria memikul (2 bagian) perempuan menjunjung (1 bagian). Ini adalah mekanisme pembagian job dalam tugas rumah tangga, dimana suami berkewajiban menafkahi dan istri mengurus rumah tangga. Tapi pembagian tugas ini bukanlah kemestian dalam artian bukan larangan bagi suami untuk mengerjakan tugas istri saat  istri berhalangan. Juga sebaliknya, tidak mutlak istri hanya mengurus rumah tangga. Bahkan kadang, suami istri bekerja bersama. Ini disebut sipurepo atau saling berbagi kesusahan.
    Dalam kekeluargaan, masyarakat Bugis menganut sistem kekerabatan bilateral. Dalam artian, keluarga diakui dari pihak ayah maupun ibu. Ayah disebut ambo atau ama dan ibu disebut  indo atau ina. Paman disebut amaure yang secara tekstual berarti ayah emas. Bibi dipanggil inaure atau ibu emas. Kemenakan baik pria maupun perempuan disebut anaure atau atau anak emas.
    Bagi masyarakat Bugis dahulu, perempuan berada dibagian belakang rumah dan pria berada di bagian depan rumah. Ini tidak lepas dari prinsip perlindungan kaum pria terhadap perempuan. Terkadang tempat tidur perempuan berada di rakkeang atau bagian atas rumah dibawah trpesium atap.
    Perempuan dianggap siri' bagi sebuah keluarga. Pelecehan bagi perempuan seperti digoda oleh lelaki, kawin lari, berselingkuh atau pemerkosaan akan berakibat fatal. Keluarga perempuan akan berusaha melukai atau membunuh pria yang melecehkan perempuan keluarganya. Bagi masyarakat Bugis dulu, mati dalam menegakkan kehormatan keluarga yang dilecehkan adalah mati yang indah seperti diungkapkan pribahasa berikut, mate rigollai na risantangi.
3.      Hukum adat bagi perempuan Bugis
Dahulu, dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah “Malaweng”. Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis, Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan, yaitu :
1. Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesesorang yang melakukan pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya.
2.   Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang, membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya.
3. Malaweng tingkat ketiga ( Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang), melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.

PANGNGADERENG
1.      Ade
2.      Bicara
3.      Rapang
4.      Wari
5.      Sara

ADE’
Ade merupakan komponen pangngaderen yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain:
1.      Ade’ pura Onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau menetap dengan sukar untuk diubah.
2.      Ade’ Abiasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
3.      Ade’ Maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
BICARA
Bicara adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.
RAPANG
Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
WARI
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.
SARA
Sara adalah suatu sistem yang mengatur dimana seorang raja dalam menjalankan roda pemerintahannya harus bersandar kepada Dewatae (Tuhan yang Maha Esa)

Untuk selanjutnya, mari berdiskusi…

BISSU


Pada zaman dahulu Bajak kebesaran Bone tiba-tiba hilang, maka bersedihlah raja Bone. Lalu memerintahkan 40 orang bissu untuk pergi mencari bajak tersebut. Raja berpesan kepada para bissu tersebut supaya jangan kembali sebelum menemukan dan membawa pulang bajak itu. Ternyata Bissu itu menemukan bajak kebesaran itu di segeri akan tetapi bajak yang ditemukan itu tidak mau dikembalikan oleh rakyat segeri. Karena bissu merasa takut untuk kembali ke Bone maka tinggallah bissu itu di segeri, menjaga bajak itu yang dianggap sebagai arajang di segeri.
-          Struktur organisasi bissu
Di segeri maupun di bone pada umumnya jumlah bissu adalah 40 orang mereka terdiri dari :
1.      Puang/Puwak matoa
Ialah Pimpinan (kepala Bissu) yang telah dipilih dari Puang lolo kemudian dilantik dimuka umum oleh raja.
2.      Puang lolo
Sebagai wakil Puang matowa adalah bissu yang telah dipilih masyarakat bersama bissu yang telah disetujui oleh Raja.
3.      Bissu biasa sebagai pembantu Puang lolo

-          Struktur organisasi bissu di segeri
1.      Bissu tanre (tinggi) dalam hal ini pengetahuannya dianggap tinggi, mereka baru muncul pada upacara turun ke sawah (upacara palili0. Jumlah mereka 40 orang.
2.      Bissu poncok (pendek) terdiri dari 6 orang mereka turun pada pesta kerajaan, melepaskan Nazar (pesta ke lapangan Kejota)

-          Struktur organisasi Bissu di Bone
1.      Bissu tanre terdiri dari :
a.       Pimpinan bissu yang bergelar Puang Matowa
b.      Wakil Bissu yang bergelar Puang Lolo terdiri dari 2 (dua) orang
c.       Inang Bissu, yaitu perwira bissu
d.      Kuneng lolo, tidak ikut menari (sere dalam bahasa Bugis) tetapi duduk pada waktu ada upacara, atau Bissu keturunan bangsawan.
e.       Bissu lolo yaitu prajurit Bissu.
2.      Bissu Core-core ( Ponco)
Di bone dikenal juga Bissu pada umumnya dimunculkan pada upacara-upacara seperti :
a.       Mallangi Arajang, membersihkan Arajang peperangan, Wabah penyakit, musim kemarau
b.      Maccera Arajang, ialah pengorbanan hewan
c.       Mattoana Arajang, memberi sesajeng Arajang
Di bone pada upacara Maccera Arajang diadakan pada pelantikan Raja, upacara perkawinan, upacara bersalin, upacara kematian
Perbedaan Bissu di segeri dan di bone
1.      Di segeri para bissu berperanan, turun ke sawah (apalili) sedangkan di bone, pada waktu turun ke sawah, Bissu tidak mempunyai peranan
2.      Bissu di segeri pada umumnya terdiri dari Calabai (wadam), sedangkan di bone terdiri dari Calabai (wadam) dengan bissu perempuan yang disebut core-core yang tugasnya menjunjung baku panampa, dapo sadampa dll
3.      Di segeri bissu pada waktu menari selalu maggiri (menancapkan keris dibadannya/lehernya) sedang di bone sekarang ini tidak diadakan maggiri (menancapkan keris dibadan/lehernya)

Kalau bissu menari di luar Lalebata (di luar watampone) mereka memakai pakaian sanro (dukun) atau bermacam-macam warna pakaian, apabila di dalam watampone (Lalebata) mereka berpakaian baju bodo. Peralatan bissu di bone yang di pakai dalam upacara disesuaikan dengan derajat yang mengadakan upacara. Dan apabila orang yang mengadakan pesta tersebut berasal dari bangsawan tinggi, maka peralatan terdiri dari dua kasseri (dua kali Sembilan) sedangkan daerah palili (kerajaan kecil, yang tunduk dibawah pemerintah Raja Bone) maka peralatannya dua kattuju (dua kali tujuh).




PERANAN BISSU DALAM UPACARA

1.      PELANTIKAN BISSU DAN PIMPINAN BISSU (PUANG MATOWA) DI SEGERI

Di segeri pemilihan puang matowa dan puang Lolo harus melalui pilihan rakyat yang diprakarsai oleh raja yang bersangkutan. Apabila puang matowa meninggal dunia atau melalaikan tugasnya serta kelakuannya tidak senonoh, maka rakyat akan memilih puang lolo sebagai penggantinya jika puang matowa tidak bersedia barulah pilihan jatuh pada bissu-bissu lainnya. Setelah bissu tersebut terpilih maka iapun pergi menghadap kepada rakyat segeri bahwa ia sanggup memlihara alat-alat kerajaan (arajang segeri). Sesudah itu rajapun menyuruh mengumumkan kepada rakyat tentang hasil pamilihan itu serta waktu pelantikannya. Pemberitahuan tersebut di umumkan di pasar-pasar karena pasar merupakan tempat berkumpul penduduk dari seluruh pelosok-pelosok kampong. Pada hari pelantikan orang berduyun-duyun ke tempat kediaman calon Puang matowa dengan membawa seperangkat alat sebagai tanda penjemput “Pattene” atau “pammuntuli” yaitu sebuah talam berisi seberkas daun sirih, 36 buah pinang, uang logam 25 sen lima buah.
Sementara puang Matowa sudah bersiap pula lengkap dengan pakaian upacara dengan memakai songkok pute/topi yang berbentuk bundar dan berwarna putih) dan bissu lainnya memakai passapu (dester).
Dari tempat kediaman Puang matowa diantar ke istana raja segeri untuk menjemput raja menuju tempat upacara. Setelah tiba di tempat pelantikan puang matowa dilantik oleh raja yang disaksikan rakyat dan para bissu.